Pages

Rabu, 08 September 2010

Nama Guci Terkait Sejarah Kerajaan Mataram

Sebagian besar objek wisata di Nusantara memiliki sejarah dan legenda. Demikian juga pemandian air panas alam Guci. Informasi lengkap terkait sejarah legenda Guci bisa diperoleh dari sang juru kunci Ki Damad. Lelaki tua yang diperkirakan berumur 70 tahun itu tinggal di Dukuh Pekandangan, Desa Rembul, berjarak sekitar 2 km dari Pancuran 13.
Meski tergolong sepuh, Ki Damad masih terlihat segar dan sehat. Dengan suara yang masih jelas, dia menuturkan bahwa memang ada yang mengeramatkan pemandian alam Guci. Pada hari-hari tertentu, terutama Jumat Kliwon, banyak yang mandi di pemandian tersebut.

Nama Guci, menurut Ki Damad, sebelumnya adalah pedukuhan Keputihan yang berarti suci atau belum tercemar. Istilah tersebut diperkenalkan Kiai Ageng Klitik (Raden Mas Arya Wiryo), seorang bangsawan Kerajaan Mataram Jogjakarta, yang lari karena diburu tentara kolonial Belanda.
Dia sampai di Keputihan dan memutuskan menetap di sana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kiai Ageng Klitik dan pengikutnya membuka lahan pertanian. Seiring perjalanan waktu, permukiman itu berkembang dan makin ramai oleh pendatang.

Sampai suatu saat, Kiai Ageng Klitik diangkat menjadi kepala Desa Keputihan. Ketika mengembangkan areal permukiman dan pertanian, dia menemukan beberapa sumber air panas dari dalam gua. Sumber berupa pancuran itulah yang lantas dikenal sebagai pancuran 13 karena memang berjumlah 13.
Selang beberapa waktu setelah penemuan pancuran 13, Kiai Ageng Klitik menemukan Guci yang berisi air dari sumber panas. Dari penemuan itu, muncullah nama Guci untuk menamai permukiman tersebut.
Selain cerita itu, berkembang cerita versi lain. Konon, air panas Guci berasal dari air yang diberikan Sunan Gunung Jati Cirebon kepada santrinya, Syekh Elang Sutajaya, yang ditempatkan dalam wadah berupa guci. Air tersebut merupakan bekal bagi Syekh Elang Sutajaya dalam menyebarkan agama Islam ke Jawa Tengah bagian barat di sekitar Tegal.
Berbekal sejarah dan legenda itu, masyarakat sekitar pun memiliki tradisi untuk mengadakan ruwat bumi sebagai bentuk rasa syukur. Upacara ritual ruwat bumi kali terakhir dilaksanakan 21 Desember 2009 atau bertepatan dengan 1 Muharam 1431 H. Prosesi acara ritual ruwat bumi yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tegal dilangsungkan saat siang dan menjadi atraksi wisata.
Satu hal yang paling ditunggu masyarakat di sekitar Guci dan wisatawan adalah saat pala pendhem (makanan hasil bumi) masyarakat sekitar dibagikan. Mereka saling berebut gundukan hasil bumi itu. Masyarakat meyakini, buah, sayuran, dan palawija yang diperoleh itu bisa memberi keberkahan bagi yang berhasil mendapatkannya.

sumber : Copyright @2008 IT Dept. Jawa Pos
[ Minggu, 28 Februari 2010 ]

0 komentar:

Posting Komentar