1. Topeng Endel,
2. Kresna,
3. Panji,
4. Patihan,
5. Lanyapan Alus, dan
6. Kelana.
Topeng Endel Adalah bentuk topeng wanita dengan kostum endel yang mirip penari Gambyong. Tariannya diiringi gending lancaran ombak banyu laras slendro manyuro.
Topeng Kresna bermuka merah jambu dan berambut. Gending pengiringnya adalah lancaran lelenderan naik lancaran praliman.
Topeng Panji bermuka menunduk (luruh). Mukanya berwarna putih, berambut mirip tokoh Arjuna. Gending pengiringnya adalah lancaran gunung sari laras slendro patet nem.
Sedangkan, [B]topeng Patihan memiliki mata terbuka lebar, mewakili tokoh Setiati dan Patihan Jawa, berwarna merah tua. Gending pengiringnya, lancaran blendrang laras slendro patet manyuro.
Sementara topeng Lanyapan Alus memiliki bentuk muka menunduk (temungkul) dan berkumis. Warna muka kuning gading, mirip tokoh Bambangan dalam warna kulit purwa. Gending pengiring tari topeng ini adalah lancaran lagon semarangan laras slendro patet nem.
Terakhir, topeng Kelana bermata terbuka lebar, hidung menengadah ke atas dan panjang, mulut dan gigi terbuka, bertaring pendek dengan warna muka merah tua, mirip dengan tokoh Dasamuka. Gending pengiringnya, lancaran gonjing truntung laras slendro patet manyuro.
Terdapat pula bentuk topeng tambahan yakni Punakawan dan topeng Kelana Yaksa serta beberapa tokoh yang disesuaikan dengan kebutuhan cerita. Seperti dikutip dari rilis Dewan Kesenian Tegal (DKT), [ B]wayang topeng Tegal sempat jaya pada 1960-an[/B]. Namun, mulai tergusur oleh budaya modern pada 1980-an. Tari topeng Tegalan bisa dipentaskan siang maupun malam hari sesuai permintaan. Pentas topeng biasanya sekitar 3-4 jam dengan diiringi 10 panjak atau pangrawit, seorang sinden, dan seorang dalang.
Tari Endel Tercatat di Muri
ENDEL, tari tradisional asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, masuk Museum
Rekor Indonesia (Muri), sebagai tarian dengan peserta terbanyak,
Pencatatan rekor itu setelah sebanyak 1.700 penari unjuk kebolehan di halaman
Kantor Pemkab Tegal, dalam rangka memperingati HUT ke-470 Tegal. Para
penari yang semuanya wanita merupakan siswa SD yang ada di seluruh Kabupaten
Tegal. Dalam pergelaran tari Endel, semua penarinya menggunakan
topeng yang sebelumnya dipesan dari Sanggar Satria Laras, milik dalang
kondang Ki Enthus Susmono. Ki Enthus mengatakan Endel merupakan tari
tradisional khas Tegal, meski secara jujur harus diakui merupakan akulturasi
dari tari topeng Cirebon atau Losari.
MEMPERTAHANKAN BUDAYA DAERAH
Bila sebuah tarian dipertontonkan di hadapan tamu khusus, seperti halnya seorang presiden, rasanya pantas bila pelaku tarian ini mendapat tempat yang layak.
Namun hal ini tidak sepenuhnya berlaku pada tari Topeng Endel, sebuah tarian khas Tegal, dengan sejumlah pelakunya. Mereka yang terlibat dalam Topeng Endel ini hidup biasa-biasa saja, dengan kelebihan dan segala kekurangannya.
Tari Topeng Endel biasa dibawakan oleh satu atau dua penari bergantian. Sang penari selalu mempunyai kelompok gamelan pengiring yang terdiri dari kendang, bonang, saron, balongan dan peking.
Kegenitan menjadi ciri tari Topeng Endel, sesuai dengan namanya Endel, yang dalam bahasa Tegalan artinya "kenes", atau genit. Gerak penarinya seakan menggambarkan percumbuan penari dengan bayangan sang pangeran . Namun semuanya berlangsung lembut, dalam kesunyian diri, dan jauh dari desahan erotis. Gerak penari Topeng Endel lebih banyak mengikuti hentakan gamelan. Menghanyutkan, mampu menghipnotis siapa saja yang menikmatinya.
Disinilah sesepuh tari Topeng Endel, Bu Sawitri menetap. Di Desa Selarong Lor, Kecamatan Duku Waru, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Selama hampir 20 tahun, primadona tari kenes ini menghabiskan kesehariannya, sebagai penjual makanan pagi. Usai shalat subuh, ibu berputra 3 dan 4 cucu ini menyiapkan seluruh dagangannya. Dibantu putri tertuanya.
Tak terlalu mewah memang dagangan yang disajikan, sebatas nasi, telur dan sayuran. Namun dari hasil berdagang makanan inilah, hidup mereka bisa tertopang. Sementara urusan menari, untunglah Ibu Sawitri masih bisa meneruskan ilmunya.
Sebagai satu satunya sesepuh dan penerus tari Topeng Endel khas Tegal, Bu Sawitri yang lahir di Tegal, 58 tahun lalu ini, sadar betul bahwa tarian ini membutuhkan ketekunan. Hal yang selalu ia tekankan kepada murid-muridnya.
Mungkin, sering tersirat dalam pikiran perempuan ini, pengalamannya semasa kecil ketika mempelajari gerakan tari yang dimainkan ibunya saat pertunjukan dari kota ke kota. Dari ketekunannya menyimak gemulainya gerakan sang ibunda inilah, Sawitri kecil akhirnya memperoleh kepercayaan mendampingi ibunya menari tari Topeng Endel diusianya yang ke 20 tahun.
Guratan ketekunan tak saja terpancar dari Bu Sawitri seorang, maupun anak didiknya takala menerima ilmu tari Topeng Endel. Sepasang mata wanita tua renta berkulit kerut lainnya yang tak lain ibu dari sang penerus, dengan seksama mengawasi gerakan- gerakan yang diajarkan Bu Sawitri kepada anak didiknya.
Raut muka sedih hingga tetes air mata kadang terpancar[B], saat munculnya kembali ingatan masa lalu sebagai penari Topeng Endel bersama suami tercinta yang kini telah tiada. Namun, sebagaimana nasib sebuah kesenian tradisional pada umumnya, perlahan tari Topeng Endel ini pun ikut tergusur dengan seni modern seperti pentas dangdut. Ada undangan pementasan sebulan sekali saja, rasanya sudah luar biasa.
Tapi tak masalah bagi sang penari. Yang penting baginya, tari Topeng Endel tetap hidup, dan itu artinya ia harus melakukan regenerasi. Impiannya, punya sebuah sanggar untuk kegiatan melatih tari.
Menjelang bulan Agustus ini biasanya banyak permintaan untuk tampil. Dan ia harus menyiapkan staminanya yang prima. Sebagai seorang penari, Sawitri adalah sosok penari yang utuh. Geraknya luwes, bernaluri tajam dan fisik yang terjaga. [B]Akankah muncul Sawitri-Sawitri berikutnya?, yang akan membuat tari Topeng Endel jauh lebih dikenal, tak hanya di Jawa Tengah.
PENERUS BUDAYA
PENGABDIAN seseorang terhadap profesi yang digeluti memang tidak memandang dari segi gender atau manapun. Hal itulah yang dibuktikan oleh seorang perempuan muda yaitu Sri Dmayanti. Dirinya sangat mencintai kesenian tari tradisional. Hingga kehidupannya ia abdikan untuk mengembangkan dan melestarikan kesenian tari tersebut, khususnya kepada generasi muda.
Dia mengatakan, tarian yang paling dia sukai adalah jenis tari topeng. Kecintaan terhadap tari topeng mendorongnya mulai belajar tari endel dari Ibu Sawitri. Bakat tari yang sudah melekat di jiwa membuatnya tak menemui kesulitan belajar tari endel. Kini dia sering diminta Pemerintah Kota Tegal untuk membawakan tari endel.
Berkat kemampuannya, ia dipercaya Pemkot Tegal untuk membuat dan mengembangkan tari khas Kota Tegal. Ia menamakannya dengan Tari Astawa Sari. Gerak tari tersebut memadukan antara beberapa tari-tari tradisional lainnya. Karena tari endel yang selama ini dibawakan tiap acara-acara resmi di Kota Tegal, sudah dipatenkan oleh pihak kabupaten. "Jadi Kota Tegal tidak mempunyai tari tradisional khas daerah sehingga perlu untuk mengembangkan kesenian tari khas Tegal,” tuturnya.
Dia menuturkan, eksitensi kesenian tari tradisional sangat penting pada zaman sekarang. Apalagi seni tradisional merupakan budaya daerah yang merupakan ciri identitas di suatu daerah. “Saya sangat antusias untuk melestarikan kesenian tersebut, khususnya kepada generasi muda agar tidak lupa dengan kesenian tradisional dan ikut melestarikannya
Kotaku yg “ternyata” kaya akan budaya….
0 komentar:
Posting Komentar